Mengutip dari tulisan Drs. Abdul Syani, M.IP. tentang adat sebambangan, bahwa kini tidak sedikit pihak yang memandang negatif, dengan alasan meresahkan orang lain, memaksakan kehendak dan bertentangan dengan hukum. Timbulnya pandangan negatif ini karena sebambangan diartikan sebagai tindakan melarikan (menculik) seorang gadis tanpa sepengetahuan dan persetujuan orang tuanya, serta tidak melalui musyawarah dengan penyimbang adat setempat.
Tindakan itulah yang dipandang bertentangan dengan hukum, kriminal, bahkan melanggar Syariat Islam. Hal ini perlu sedikit koreksi, karena tidak demikian pengertian, maksud dan tujuan sebambangan menurut ketentuan adat Lampung.
Menyimak pendapat sebagian pengamat dan peneliti budaya Lampung, yang diantaranya menyatakan bahwa adat sebambagan sama dengan kawin lari, yaitu melarikan gadis untuk dinikahi tanpa prosedur adat, tanpa sepengetahuan dan persetujuan orang tua, kerabat, termasuk penyimbang adatnya. Akibatnya adat sebambangan dianggap negatif, melanggar hukum dan dicap sebagai tindakan kriminal. Akhirnya citra adat sebambangan ini menjadi buruk di mata masyarakat, terutama pihak yang tidak memahami filosofi dan makna sebambangan sebenarnya.
Tapi meski demikian bisa dimaklumi, karena upaya menggali dan memahami hakikat adat budaya lokal secara arif memang tidak mudah. Penelitian awal pendekatan sosial, belum menjamin dapat menjaring data yang benar, lengkap dan akurat. Terlebih data yang diperoleh tidak bersumber dari penyimbang adat pemegang/penglaku pemerintahan adat original yang mengetahui dengan benar syarat dan prosedur adat sebambangan itu. Oleh karenanya lumrah jika informasi yang diperoleh belum menyentuh makna dan tujuan adat sebambangan yang sebenarnya.
Perlu diketahui bahwa latar belakang terjadinya sebambangan karena adanya rintangan atau terhalangnya hubungan cinta kasih antara muli-mekhanai (gadis dan bujang). Rintangan ini mungkin diantaranya karena hubungan cinta keduanya tidak mendapat restu dari salah satu atau kedua orang tua mereka dengan berbagai alasan. Boleh jadi karena ketidaksanggupan pihak mekhanai/bujang untuk memenuhi mahar dan permintaan keluarga muli/gadis. Atau sebagai upaya untuk menghindar dari prosedur adat perkawinan jujur/lamaran yang panjang dengan biaya besar. Sebab lain mungkin karena perbedaan status dan strata adat, perbedaan status sosial ekonomi, atau karena ada larangan tidak boleh melangkahi saudaranya yg lebih tua, alasan menghindari zina dan fitnah atau karena adanya perselisihan antar orang tua sebelumnya, dan lain-lain.
Sebambangan adalah yaitu adat Lampung yang khusus mengatur prosedur pelarian bersama (lari bersama artinya upaya pergi atau menghindari rintangan secara bersama atas kesepakatan bersama tanpa tekanan antara keduanya) muli/gadis dan mekhanai/bujang ke rumah penyimbang adat (pihak mekhanai/bujang). Tujuannya untuk meminta bantuan, perlindungan, saran/pendapat agar mereka mendapat persetujuan dari orang tua si gadis (atau kedua orang tua mereka). Untuk ini dilakukan melalui musyawarah adat antara kedua belah pihak penyimbang adat dengan kedua orang tua dari muli-mekhanai, sehingga dapat diperoleh kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut.
Langkah awal perjalanan sebambangan, keduanya (muli-mekhanai) meninggalkan surat dan uang (tengepik) sebesar kemampuan mekhanai sebagai informasi rahasia yang intinya menerangkan keberadaan mereka. Tentu saja maksudnya agar orang tua mereka tidak terlalu cemas dan dapat mempertimbangan secara bijak dengan harapan dapat merestui hubungan cinta keduanya, serta dapat menyelesaikannya secara damai sampai pada jenjang pernikahan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam adat sebambangan yang sebenarnya, tidak ada unsur pemaksaan atau melarikan secara sepihak oleh bujang terhadap hadis, melainkan dilakukan atas kesepakatan bersama, bahkan (meski rahasia) disetujui dan seizin orang tua pihak gadis. Tentu fenomena ini telah disadari bersama bahwa jika melalui adat perkawinan jujur (pelamaran) memerlukan waktu, tenaga, biaya dan sarana yang mahal, maka dengan sebambangan kelemahan itu dapat dihindari. Hal ini justeru menjadi sumber motivasi bagi kedua-belah pihak untuk melakukan silaturahmi, musyawarah, berdamai untuk mencapai kesepakatan dan solusi yang meringankan.
Secara ringkas, Sebambangan dpt diartikan sebagai proses pelarian bersama bujang-gadis (secara rahasia) kerumah pemangku adat, agar terjadi musyawarah dan persetujuan kedua orang tuanya sebelum akad nikah. Sebambangan biasanya berakhir dengan damai dan terjadi pernikahan dengan restu kedua orang tua dan kerabatnya. Keputusan/persetujuan kedua belah pihak, termasuk penyelesaian persyaratan biaya, rupa-rupa sesan, dan denda adat, merupakan kunci berlangsungnya pernikahan menurut ketentuan adat yg berlaku.
Sebagai adat budaya Lampung tentu di dalamnya terkandung kearifan lokal nilai-nilai moral, saling mengormati sesama, terbuka, mengedepankan musyawarah dalam setiap menyelesaikan masalah; semuanya merupakan bagian falsafah hidup piil pesenggiri yang menjunjung tinggi kehormatan bersama. Nilai-nilai yang terkandung dalam adat sebambangan inilah yang perlu dilestarikan, terutama dalam praktek penyelesaian masalah perkawinan, rumah tangga, sengketa, konflik dan masalah sosial budaya lain, yang ternyata kini timbul akibat terkikisnya nilai-nilai moral, kemanusiaan, kebersamaan dan keadilan sosial.
Tapi meski demikian, sesuai dengan modernitas pergaulan, luasnya jaringan informasi dan kemajuan IPTEK., maka praktik pisik adat sebambangan tidak perlu diterapkan pada masa kini, karena masing-masing remaja, para orang tua dan para penyimbang adat sudah sangat terbuka untuk bertemu secara langsung dengan pola pikir yang rasional efisien. Di samping itu, semua pihak mau tidak mau harus mampu berempati dan beradaptasi dengan perkembangan zaman, khususnya kemampuan menyesuaikan tata-cara adat perkawinan masa lalu dengan aspirasi masyarakat terkini, dengan tetap melestarikan nilai-nilai kearifan lokal secara adaptif, sehingga tidak ada tindakan dan perlakuan yang meresahkan atau melanggar hukum.