Hukum Adat Penguasaan Tanah di Lampung

  • Whatsapp

Hukum adat atas penguasaan tanah di provinsi Lampung telah diatur dalam payung hukum dari pemerintah provinsi, serta berdasarkan hukum adat istiadat setempat.

Berikut ini hukum adat penguasaan tanah di provinsi Lampung sesuai dengan aturan adat yang berlaku:

Bacaan Lainnya

  1. Kedudukan seseorang yang memangku jabatan sebagai penguasa Marga dalam marga disebut sebagai Bandar atau Penyimbang Marga atau Kepala Adat Marga. Kekuasaan yang melekat pada jabatan ini diantaranya adalah pengawasan dan pengelolaan atas tanah, hutan belukar dan segala tanam tumbuh dalam wilayah kebandaran.
  2. Tanah-tanah yang ada di bawah kekuasaan Penyimbang Bandar dapat digunakan untuk:
    a. kepentingan sendiri;
    b. kepentingan pengikutnya (rakyatnya) yang langsung di bawah kekuasaan dan pengawasannya;
    c. dibagikan kepada penggawa-penggawa atau sebatin tiyuh yang ada dalam wilayah kekuasaan penyimbang bandar. Tanah-tanah yang dibagikan ini dapat digunakan untuk:
    c.1. kepentingan sendiri;
    c.2. dibagikan kepeda pengikutnya masing-masing sebagai hak pakai.
  3. Penyimbang Bandar berhak menyewakan tanah dalam wilayah kekuasaannya kepada rakyatnya yang semarga atau kepada orang lain di luar marganya. Tanah-tanah yang dimaksud adalah tanah-tanah yang belum dibagikan kepada rakyatnya atau tanah-tanah yang bukan tanah yang telah ditentukan sebagai tanah Pusaka marga keturunan.
  4. Proses penyewaan tanah-tanah itu harus melalui perjanjian yang dibuat oleh penyewa. Syarat-syaratnya adalaah sebagai berikut:

4.1 Apabila penyewa itu orang berasal dari luar marga, maka yang bersangkutan membuat perjanjian sebagai berikut:

4.1.1 tanam tumbuhnya buah pekerjaannya dibagi 3 bagian, yaitu: 1/3 untuk penyimbang bandar (penguasa tanah) sebagai upeti, pajak atau cukainya. Sedangkan 2/3-nya adalah bagian dari pihak penyewanya (yang mengusahakan).
4.1.2 Penyewa tanah yang bersangkutan boleh memilih dan menanam jenis tanaman yang disukai, tapi apabila ia hendak meninggalkan tanah garapannya atau kembali ke wilayah marga asalnya, maka tanam tumbuh buah usahanya itu tidak boleh dijual, melainkan harus dikembalikan kepada penyimbang adat bandar sebagai penguasa tanah dalam marga.

4.2 Penyewaan tanah itu berlaku juga bagi anggota masyarakat dalam marga, dengan syarat:

4.2.1 Penarikan upeti, pajak atau cukai adalah hanya terhadap tanah yang belum dibagikan kepada penggawa atau sebatin-sebatin tiyuh dalam marga untuk digunakan dan dipeliharanya sendiri sebagaimana pada point 3.
4.2.2 Tanah-tanah pusaka (larangan) dan tanah yang disewakan tidak boleh dijualbelikan, melainkan harus dikembalikan kepada penyimbang adat bandar sebagai penguasa tanah dalam marga bersama dengan penyelesaian surat sewanya.
4.2.3 Apabila penyewa tanah itu boleh menjual tanam tumbuhnya kepada masyarakat dalam marga kekuasaan penyimbang bandar, dengan syarat melaporkan kepada penyimbang bandar yang bersangkutan. Kemudian penyimbang bandar memanggil kedua-belah pihak yang berjual-beli dengan beberapa orang saksi untuk penyelesaian transaksi jual-beli itu. Kemudian dibuatlah surat perjanjian antara kedua belah pihak jual-beli dengan penyimbang bandar, bahwa dalam jual beli itu tidak berikut tanahnya.

4.3 Apabila pihak pembeli (penyewa baru) sebagaimana point 4.2.3 hendak menanam tanaman baru karena tanaman lama telah mati, maka kewajiban penyewa baru ini adalah sebagai berikut:
4.3.1 Penyewa membuat perjanjian baru kepada penyimbang bandar sebagai penguasa tanah dengan proses yang sama dengan butir 4.1 dan butir 4.2.
4.3.2 Penyewa baru tidak boleh menanam tanaman baru apabila tanam tumbuh (kayu-kayuan) yang dibeli sebelumnya masih hidup atau belum mati semua.
4.3.3 Penyewa baru hanya boleh menanam padi atau selain tanaman kayu-kayuan.

  1. Bagi penggawa atau sebatin tiyuh yang telah menerima tanah pemberian penyimbang bandar berkewajiban memeliharanya yang untuk kepentingannya sendiri dan membagikan sebagian kepada segenap warganya. Baik penggawa maupun warganya hanya memiliki hak guna usaha dan tidak berhak untuk memperjual-belikan.
  2. Para penggawa dalam kebandaran yang berhak menerima pembagian tanah kekuasaan penyimbang bandar itu adalah mereka yang diakui bersamaan waktunya dengan berdirinya kepenyimbangan bandar (penyimbang Tuha). Penggawa-penggawa yang berdiri kemudian diperbolehkan menggunakan tanah kelebihan yang belum dikelola oleh penggawa-penggawa dan anggota masyarakat sebelumnya, dan tanah ini bukan tanah larangan (tanah pusaka) penyimbang marga.
  3. Semua penggawa dan anggota masyarakat yang telah mendapat pembagian tanah bebas mengelolanya untuk kekayaan dan kepentingannya sendiri, tetapi tidak berhak untuk menjualnya kepada orang lain di luar marga, kecuali tanam tumbuhnya dan apabila orang lain itu telah resmi menjadi anak adat dalam marga penguasa tanah.
  4. Penyimbang bandar tidak memungut upeti kepada Penggawa atau warga masyarakat marga yang telah diberi tanah, kecuali kalau tanah yang dibagikan itu disewakan kepada orang lain lagi oleh penggawa atau warga masyarakat marga tersebut dengan sepengetahuan penyimbang bandar. Hak penggawa hanya dapat menyewakan untuk kepentingan rumahtangganya sendiri, dan ia tidak berhak untuk menjualnya.
  5. Penghasilan Bandar dan sebatin paksi adalah:
    9.1 Pajak sewa bumi/tanah, yaitu tanah hutan marga yang dikelola. Penghasilan ini dibagi 10: 1 bagian untuk bandar atau paksinya ; 9 bagian untuk pengelola tanah.
    9.2 Denda dan upeti adat.
  6. Perihal bantuan antara rakyat dengan Penyimbang:
    Apabila Penyimbang Bandar, sebatin paksi, Penggawa dusun dan suku-sukunya mengadakan acara adat, seperti nayuh, pengembaraan menuntut ilmu/kunjungan atau upacara penobatan sebatin baru, maka rakyatnya berkewajiban untuk memberi bantuan kepada penyimbangnya. Demikian juga sebaliknya apabila rakyatnya mengadakan acara yang berkaitan dengan adat, maka para penyimbang wajib pula untuk memberikan bantuan.
    Bantuan-bantuan ini bisa berupa:

10.1 Bantuan tenaga:
(a) membuat Bebakhung (kubu panjang),
(b) membuat Pusiban (kubu Ratu mandi)
10.2 Bantuan biaya:
(a) mengumpulkan uang jujur;
(b) sumbangan biaya nayuh. Jika yang punya acara adat adalah
Penyimbang, maka rakyat yang ada dibawah kekuasaan
penyimbang tersebut harus bergotong royong memberikan bantuan.
10.3 Bantuan makanan (mi mesak/nasi) secukupnya atau kesepakatan, tergantung pada status keadatan dan besarnya acara adat.

Sumber Referensi: Abdul Syani. 2013. Cepalo dan Hukum Adat dan Penguasaan Tanah. Diakses melalui situs: http://staff.unila.ac.id/abdulsyani/2013/04/17/cepalo-dan-hukum-adat-penguasaan-tanah/.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *