Kisah “Si Bungsu Pitu Muari” di Lampung

  • Whatsapp

Di suatu perkampungan di daerah Kedondong, provinsi Lampung, hiduplah sebuah keluarga dengan tujuh putrinya. Kehidupan keluarga itu sangat miskin. Makan saja mereka serba kekurangan. Agar bisa makan kenyang tanpa diganggu anak-anaknya, sang Ayah dan sang Ibu makan pada malam hari.

Suatu kali, saat ayah ibunya sedang makan, si Sulung terbangun. Ia kemudian mengucapkan kata “kikik-kikik” sehingga membangunkan semua saudaranya. Melihat orangtuanya makan, mereka lalu minta ikut makan sehingga kedua orangtuanya tidak kenyang lagi.

Bacaan Lainnya

Karena kesal, ayah ibu itu ingin membuang ketujuh anaknya ke dalam hutan. Tapi rupanya rencana itu sempat didengar si Bungsu. Keesokan harinya, ketujuh anaknya dibawa ke dalam hutan. Sesampainya di hutan, ayahnya bermusyawarah dengan kera agar menyahut jika anak-anaknya memanggil, dan kepada burung pagut agar mematuk-matuk pohon supaya dikira ayahnya masih di dalam hutan.

Benar saja, ketika anak-anak itu memanggil, kera menyahut dan burung pagut mematuk pohon. Padahal sang Ayah telah pulang. lama-kelamaan kedua binatang itu capai dan kesal. Ketika anak-anak itu memanggil kembali, kera dan burung itu diam. Ketujuh anaknya baru sadar jika telah ditinggal ayahnya. Untung saja si Bungsu sudah menadai jalan mereka dengan kemiri sehingga mereka bisa pulang ke rumah. Melihat ketujuh anaknya pulang ayah ibu mereka sangat kesal.

Hari berikutnya mereka berencana membuang anaknya lagi. Si Bungsu membawa biji jagung untuk menandai jalan yang mereka lalui. Seperti biasa kera menyahut-nyahut dan burung pagut mematuk-matuk lalu diam karena kesal. Ketujuh anak bersaudara itu menjadi tahu kalau ditinggal ayahnya. Namun malang, jalan yang sudah ditandai si Bungsu dengan biji jagung hilang karena biji itu telah dimakan burung. Akhirnya mereka tersesat.

Sampai mereka di sebuah ladang yang dihuni dua raksasa suami istri. Ketujuh bersaudara itu berencana manaklukan raksasa itu. Si Bungsu kemudian mengambil kolang-kaling dan digosok-gosokkan ke sungai. Akibatnya, tubuh kedua raksasa itu gatal dan segera menuju gubuk. Malang tali gubuk telah dilepas sehingga ketika menaiki gubuk, raksasa itu jatuh ke dalam api unggun hingga tewas.

Konon ketujuh anak bersaudara itu membuat tujuh gubuk di tempat itu. Mereka menanam padi dan bunga-bunga yang harum baunya. Karena bau yang harum, ladang mereka kerap didatangi kenui. Burung itu bernyanyi ingin bersarang dan bertelur di bunga mereka. Tetapi keenam saudara itu melarangnya, hanya si Bungsu yang memiliki sifat kasih sayang itu yang mengizinkan kenui bersarang di bunga miliknya.

Setelah kenui itu bertelur di bunga milik si Bungsu, burung itu pergi dan tak pernah kembali. Ketika keenam bersaudara itu pergi ke ladang, si Bungsu merasa aneh karena ada yang menanak nasi di rumahnya. ketika dia mengintip, ternyata seorang pemuda tampan menanak nasi untuknya. Pemuda itu keluar dari telur kenui. Si Bungsu dan pemuda itu saling menyukai, kemudian keduanya menikah.

Karena iri, keenam saudaranya menyingkirkan si Bungsu dengan cara mendorongnya hingga jatuh dan hanyut ke sungai. Konon, si Bungsu yang hanyut ke sungai itu ditelan oleh ikan besar. karena perutnya terisi manusia, ikan itu itu menjadi cepat lelah dan menepi di pinggir sungai. Seorang nenek yang sedang mandi melihat ikan besar itu. Namun pisau atau golok tak dapat melukai ikan itu. Si Nenek kesal lalu beristirahat. Saat itu dia mendengar suara burung bernyanyi, “Bolidang bolidangi pabeli iwa balak” Si Nenek berpikir keras apa arti nyanyian itu.

Akhirnya dia mengerti arti nyanyian si burung, bahwa untuk memotong ikan itu harus menggunakan daun belidang.

Benarlah, ikan itu dapat dipotong dengan daun belidang. Namun betapa terkejut si nenek melihat seorang wanita cantik dan masih hidup, yang tak lain adalah si Bungsu, keluar dari tubuh ikan. Si Nenek itupun mendengarkan cerita si Bungsu dengan penuh haru. Kemudian diangkatlah si Bungsu sebagai anak oleh si Nenek.

Sementara itu, berhari-hari bahkan berbulan-bulan suami si Bungsu terus mencari istrinya. Hingga suatu saat sampailah dia di gubuk si Nenek. Di sana dia mampir dan bercerita tentang nasibnya. Mendengar cerita tiu, Si Bungsu yang ada di dalam rumah menitikkan airmata karena terharu mendengar kesetiaan suaminya. Kemudian pria itu memutuskan untuk meneruskan untuk meneruskan perjalanan.

Tetapi belum sampai lima langkah, Nenek itu memanggilnya kembali.. “Aku memiliki seorang anak perempuan. Cobalah lihat, mungkin ia mirip dengan istrimu”

Betapa terkejut dan bahagianya laki-laki itu saat melihat wanita yang kelaur dari gubuk si Nenek adalah istrinya. Mereka kemudian mengucapkan terima kasih pada Nenek yang telah merawat si Bungsu. Setelah itu mereka berpamitan pulang.

Sesampainya di rumah, keenam saudaranya merasa menyesal dan meminta maaf pada di Bungsu. Sifat kasih sayang si Bungsu ternyata tidak hilang meski sudah dianiaya oleh saudara-saudaranya. Terbukti dia memaafkan keenam saudaranya.

Sumber Referensi:

  • Pamungkas dan Iskandar. 2014. Mahir Bahasa dan Budaya Lampung Untuk Kelas XI. Lampung Selatan: PT. Gunung Raja.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *