Dalam kepemimpinan struktur Pemerintahan Adat, budaya dan kehidupan pergaulan masyarakat adat Lampung, terdapat istilah atau sebutan terhadap pimpinan adat, diantaranya yaitu:
1. Perwatin/Proatin/Purwatin
Perwatin adalah para Penyimbang adat/dewan adat/tokoh adat/tuha khaja/pimpinan adat (subyek). Sebagai perwatin adat memiliki hak dan kewajiban memimpin segala aktivitas Pemerintaan Adat atau urusan yang berhubungan langsung dengan hippun/peppung (musyawarah) adat. Sebagai penyimbang adat berkewajiban untuk membina dan menjaga stabilitas pemerintahan adat kerukunan warga adat yang dipimpinnya.
Demikian juga halnya jika ada peristiwa yang berkaitan dengan masalah pelanggaran norma susila, moral (cempala), pidana adat, atau sengketa atas hak-hak warga, maka para penyimbang berkewajiban menyelesaikannya secara bijaksana dan berkeadilan sosial.
2. Mekhatin (Merwatin)
Merkhatin artinya para penyimbang adat berkaitan dengan kegiatan musyawarah adat. Para penyimbang adat ini adalah penyimbang marga/buway, tiyuh dan penyimbang suku.
Mekhatin adat adalah musyawarah mengenai urusan yang berkenaan dengan urusan adat yang dilakukan oleh para penyimbang adat dan dipimpin oleh penyimbang adat tertinggi (penymbang marga/Bandar) atau penyimbang yang ditunjuk mewakili.
Menurut sebagian penyimbang adat, perwatin diartikan sebagai pelaksana musyawarah adat; sedangkan Merwatin diartikan sebagai warga non-penyimbang sbg pelaku musyawarah). Pendapat ini juga dapat diterima kebenarannya sesuai dengan pemahaman maknanya bagi kepenyimbangan adat dan para kelompok masyarakat setempat (lokal).
Merwatin juga dapat diartikan sebagai tokoh/pemimpin/jakhu/pimpinan warga di luar struktur adat yang melakukan (me=kata kerja, predikat) kegiatan musyawarah. Pada dasarnya istilah merwatin menunjukkan pada kegiatan peppung/buhippun (musyawarah), baik dari para penyimbang adat, maupun dari tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Sedangkan mekhatin warga di luar struktur adat dalam kehidupan sosial sehari-hari sering diartikan sebagai kegiatan peppung/buhippun (bermusyawarah), baik mengenai urusan adat atas sepengatahuan penyimbang adat, maupun urusan kepentingan umum warga.
Sementara itu, ada juga kegiatan mekhatin yang diartikan kumpul berkomunikasi atau berdialog bersama antar beberapa warga/tetangga/teman, baik secara kebetulan atau dilakukan sengaja untuk membicarakan suatu rencana, peristiwa, tukar pendapat/informasi atau sekedar ngerumpi.
Dalam sistem adat dan budaya masyarakat jawa kegiatan musyawarah secara umum, bahkan secara nasional disebut rembug. Rembug desa artinya kegiatan musyawarah yang dilakukan oleh perangkat desa setempat. Desa dalam bahasa Lampung disebut pekon, tiyuh, kampung atau anek. Dengan kata lain rembug adalah istilah musyawarah menurut bahasa Jawa. (Sumber referensi tambahan: Abdul Syani, http://abdulsyani.blogspot.com/).