Tari Bedayo Tulang Bawang Lampung yang Harus Terus Dilestarikan Oleh Generasi Muda Milenial dan Gen-Z

  • Whatsapp

Tari Bedayo Tulang Bawang berasal dari Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung tepatnya dari Kampung Bujung Menggala pada abad ke-14M.

Sejarah terbentuknya tari Bedayo tidak terlepas dari peristiwa yang menimpa Kampung Bujung Menggala. Pada saat itu, Kampung Bujung Menggala diserang wabah penyakit yang sangat lama. Hampir seluruh penduduk terkena penyakit menular ini. Menurut kepercayaan saat itu penyebabnya adalah sebangsa makhluk halus yang disebut taun.

Bacaan Lainnya

Segala usaha telah dilakukan termasuk mendatangkan tabib dari luar Menggala namun wabah penyakit tidak kunjung berhenti. Banyak korban telah berjatuhan.

Menak Sakawira sebagai salah satu bagian dari penguasa pada saat itu memohon kepada sang Penguasa Alam dengan melakukan semedi atau bertapa di Kampung Bujung Menggala di sebuah makam berupa gundukan bebatuan yang disebut tambak.

Menak Sakawira bertapa selama sembilan hari Sembilan malam. Dalam semedinya, Menak Sakawira mendapatkan wangsit bahwa untuk memberhentikan penyebaran penyakit segenap warga harus mengadakan pesta dengan memotong seekor kambing hitam sebagai persembahan dan tari-tarian.

Jumlah penari harus 12 orang yang terdiri dari gadis-gadis suci dengan iringan music tradisional berupa gong, kendang, kulintang dan kempul.

Sepulang dari bertapa, maka si Menak Sakawira mengadakan musyawarah dengan mengumpulkan sesepuh adat untuk memenuhi wangsit yang ia dapat. Dari perhimpunan itu maka ditunjuklah beberapa orang yang mumpuni dibidangnya untuk menyusun sebuah tarian untuk mengiringi persembahan seekorkambing hitam. Oleh karena itu, Tari Bedayo Menggalo disebut juga Tari Pemujaan atau Tari Penyembah Penyakit.

Dalam pelaksanaannya kedua belas penari menghadap kea rah matahari terbit sebagai perlambang bahwa datangnya kehidupan dengan energi baru.

Sejak itulah tari Bedayo Menggalo dipentaskan secara rutin setiap bulan purnama tiap bulannya, agar Kampung Bujung Menggala dan sekitarnya terhindar dari bahaya penyakit yang mematikan.

Sumber Referensi:

  • Pamungkas dan Muharam, Iskandar. 2015. Mahir Bahasa dan Budaya Lampung. Bandarlampung: Gunung Raja.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *