Cerita Rakyat Lampung Keratuan “Ratu Melinting dan Ratu Darah Putih”

  • Whatsapp

Ratu di pugung mempunyai dua orang anak laki-laki, masing-masing bernama “Sagindar Alam” dan Gayung Gurunggung. Yang tua mempunyai seorang anak putri bernama putri Sinar Kaca dan yang nomor dua bernama putri Sinar Alam, dengan demikian kedua putri ini adalah cucu Ratu di Pugung.

Setelah kedua putri beranjak dewasa, kerajaan Banten meluaskan kekua­saannya dalam penyebaran agama Islam sampai ke daerah Lampung, sedangkan di bidang ekonomi pun sampai sekarang terdapat piagam perjanjian penjualan cengkeh, yang berisikan supaya Lampung tidak menjual cengkehnya dengan kompeni melainkan dengan Sultan Banten.

Bacaan Lainnya

Pada waktu Sultan Banten berkunjung ke Lampung, tepatnya di Pugung ia melihat sinar yang memancar ke langit. Melihat kejadian itu Sultan Banten bertanya kepada Ratu di Punggung “Mengapa demikian”, jawab oleh Ratu di Pugung di daerahnya ada perempuan yang cantik yaitu putri/cucunya sendiri yang bernama Sinar Kaca. Putri itu kemudian kawin dengan Sultan Banten, tak lama setelah itu kembalilah Sultan Banten, karena ia sudah terlalu lama me­ninggalkan kerajaan Banten.

Setibanya di daerah Banten ia menoleh ke arah Lampung terlihat olehnya sinar yang memancar ke langit. Ia berfikir bahwa putri yang pernah dikawininya di Lampung itu bukanlah putri yang menjadi tujuan semula. Tak lama setelah itu, ia kembali ke Lampung hendak mencari Putri Sinar Kaca Alam yang sebenarnya. Setelah sampai di Lampung yaitu di keratuan di Pugung, ia menanyakan kepada Ratu di Pugung. Semula Ratu tidak mengakui tetapi akhirnya ia mengetahui bahwa ada seorang putri yaitu putri Sinar Alam. Kemudian dikawini pula oleh Sultan Banten itu.

Tidak lama setelah itu masing-masing beranak laki-laki dari putri Sinar Kaca bernama Kijala Bidin dan anak putri Sinar Alam bernama Kijala Ratu. Kedua anak itu pada suatu ketika menanyakan tentang ayah mereka, dan dijelaskan oleh ibunya yaitu Sultan Banten. Pada waktu Sultan Banten akan meninggalkan Lampung, kedua isterinya itu masing-masing diberinya cincin sebagai kenang-kenangan dan tanda cidera mata.

Setelah kedua anak tua besar mereka berdua bermaksud untuk berkunjung ke Banten untuk menemui ayah mereka yaitu Sultan Banten. Tak lama setelah itu pergilah kedua anak itu dengan membawa perbekalan secukupnya. Pergilah mereka berdua dengan perahu/berperahu sehelai kain. Dengan kekuasaan Tuhan sampailah kedua anak itu.

Setibanya di kerajaan Banten mereka berdua itu tidak dikenal oleh Sultan Banten, tetapi dengan ujian dan cara-cara tertentu Sultan Banten akhirnya meyakini bahwa kedua anak itu adalah anaknya, akhirnya terbukti dan benar kedua anak itu adalah anaknya. Sete­lah mereka saling kenal mengenal pulanglah kedua anak itu ke Lampung dan sebagai bawaan mereka berdua adalah du buah bungkusan yang tidak diketahui isinya. Di tengah jalan kedua anak itu telah tidak tahan ingin mengetahui isi kedua bungkusan itu, lalu dibu­kalah, setelah dibuka keluarlah iblis dan terbang ke Bukit Mar­inggai (Kotak kepunyaan Kejala Bidin). Sedangkan kotak Kejala Ratu telah di buka begitu juga isinya berupa makhluk halus/iblis dan terbang ke gunung Raja Basa Kalianda.

Dari peristiwa itulah menurut kepercayaan orang keratuan melinting dan keratuan Darah Putih bisa ada suara seperti suara Meriam meletus dari kedua gunung tersebut menandakan ada bahaya. Setibanya di Lampung keduanya akan tinggal di Melinting, padahal harus salah satu berada di luar Melinting, akhirnya disepakati dengan mengadu kerbau, kepada siapa yang menang dialah yang berhak tinggal di Melinting, pertarungan itu berakhir dengan kemenangan Kejala Bidin dan dialah yang tetap tinggal di Melinting, sedangkan Kejala Ratu Darah Putih tinggal di Kalianda.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *